top of page

Junta (Kudeta) Militer Myanmar dalam Perspektif

Hukum internasional

Kudeta yang dilakukan militer Myanmar terhadap pemerintahan sipil yang dipimpin Aung San Suu Kyi mendapat kecaman dari masyarakat internasional, seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, hingga Amerika Serikat. Aksi ini dinilai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atau kejahatan kemanusiaan.

Kasus ini bermula dari dalih pemilu curang, kelompok militer yang dipimpin Jenderal Min Aung Hlaing merebut pemerintahan Aun San Suu Kyi secara paksa, Padahal, hasil Pemilu Myanmar pada November 2020 lalu memenangkan partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi, partai Liga Nasional (NLD), dengan meraih kursi mayoritas di Parlemen. Komisi pemilihan mengkonfirmasi kemenangan itu telah digantikan oleh junta militer. Sejak 1 Februari 2021, militer Myanmar mengumumkan keadaan darurat, menahan sejumlah tokoh politik prodemokrasi termasuk Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar Win Myint.

 

Mengutip sejumlah sumber, hingga 22 April 2021, menurut data aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) dan media lokal, aksis kudeta ini menelan korban tewas lebih dari 738-an orang.

Sumber : Kompas.com

Bagaimana Status Kudeta Militer dalam Perspekstif Hukum Internasional?

Hukum internasional tidak bersikap tegas terhadap aksi kudeta karena ketika itu kudeta kerap terjadi di berbagai negara dengan dukungan masing-masing blok baik barat maupun blok timur. Kedua blok itu menganggap dirinya sebagai kekuatan demokratik.

 

Tapi setelah perang dingin berakhir ada pergeseran hukum internasional, ada pandangan yang menilai legitimasi terhadap suatu pemerintahan itu, antara lain harus memenuhi prinsip demokrasi (melalui pemilu). Tapi, dalam praktiknya Dewan Keamanan (DK) PBB tidak jelas mengatur apakah kudeta itu sebagai bentuk pelanggaran hukum internasional atau tidak. Dewan Keamanan PBB tidak melihat legalitas dari kudeta, tapi menilai apakah kudeta itu berdampak atau tidak terhadap keamanan dan perdamaian dunia internasional.Adanya prinsip non intervensi dan kesetaraan dalam piagam pbb yang membuat suatu negara tidak dapat mentukan secara sepihak baik buruknya demokrasi yang berlangsung disuatu negara, dan juga sifat negara sebagai subyek hukum internasional yang memiliki kedudukan yang setara.

Meski pengaturannya di tingkat multilateral tidak jelas,  isu kudeta diatur lebih baik di tingkat regional, misalnya di Afrika (Uni Afrika) dan Asia Tenggara (ASEAN). Uni Afrika mengatur pemerintahan yang tidak konstitusional tidak boleh mengikuti kegiatan Uni Afrika. Tapi mereka tidak tegas mengatakan kudeta itu ilegal atau tidak.

Sedangkan, Piagam ASEAN menegaskan negara anggota ASEAN harus patuh terhadap rule of law, prinsip demokrasi, pemerintahan yang baik, dan konstitusional. Tapi Piagam ASEAN tidak mengatur sanksi bagi anggotanya yang melanggar prinsip tersebut. Bila terjadi masalah pelik yang melanda anggotanya, Piagam ASEAN mengatur jika terdapat pelanggaran serius atau ketidakpatuhan, persoalan ini diselesaikan di tingkat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) atau ASEAN Summit.

Sehingga berdasarkan hal tersebut konflik yang terjadi dalam junta atau kudeta yang terjadi di Myanmar dapat melalui abitrase yang dimana abitrase tersebut dilakukan dengan mendatangkan pihak ke 3 dari luar konflik yang biasanya datang dari perwakilan anggota dewan keamanan PBB, namun baru-baru ini hal tersebut dicoba untuk ditempuh akan tetapi hasinya nihil karena pihak Myanmar sendiri menolak untuk melakukan abitrase. Menginat abitrase dapat terjadi apabila ada kesepakatan antara ke 2 pihak yang sedang ber konflik.

Dari segi korban junta atau kudeta yang dilakukan oleh militer Myanmar dianggap masuk kedalam pelanggaran HAM berat yang dimana diatur dalam statute roma pasal 7 mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satunya adalah pembunuhan dan penganiyayan terhadap suatu kelompok masyarakat sipil, serta dia atur dalam kelanjutannya pasal 8 statuta roma mengenai kejahatan perang yang merupakan turunan dari konvensi jenewa 1949 menyatakan bahwa pelanggaran serius terhadap sengketa bersenjata internasional yang dimana dalam kasus ini militer Myanmar benar-benar telah menyerang fasilitas selain fasilitas militer dan yang terbaru adalah penembakan masjid yang terjadi di Myanmar oleh militer disana. Dalam hal ini tentu kasus tersebut sudah termasuk kedalam pelanggaran dalam kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan yang masuk kedalam pelanggaran berat HAM.

Korban yang ditimbulkan dari junta atau kudeta militer ini sudah cukup banyak dan akan terus bertambah. Korban yang kebanyakan dari warga sipil yang coba untuk menyuarakan aspirasi mereka ini memicu kecaman dari dunia internasional. Puncak dari kekesalan dunia internasioanal terjadi saat beredar video mengenai penembakan seorang remaja wanita yang tengah melakukan aksi protes akan junta atau kudeta yang terjadi di Myanmar.

Namun seolah seperti bungkam akan hal tersebut militer Myanmar teru menerus melakukan penyerangan dan penculikan hingga pembunuhan terhadap masyarakat yang tidak setuju akan junta atau kudeta yang terjadi. Bahkan dalam kasus terbaru dimana banyak dari model atau aktivis serta masyarakat sipil yang diculik dan disiksa bahkan di bunuh oleh militer disana.

Lalu bagaimana nasib presiden Aun San Suu Kyi, mengutip dari berbagai media yang ada presiden Myanmar tersebut sekarang tengah di ditahan dan diadili oleh pemerintah disana. Setelah pada tanggal 12 april lalu aung san suu kyi diadili karena dianggap melanggar undang-undang rahasia negara, dan juga dianggap lalai dalam menangani wabah covid 19 yang berangsung di negaranya. Sebelumnya presiden wanita Myanmar ini sempat mengalami tuduhan bahwa dirinya memiliki walkie-talkie illegal. Namun hal ini menurut kelompok yang pro terhadap aung san suu kyi merupakan hal-hal yang dilakukan oleh jendral militer disana sebagai salah satu upaya meligitimasi kudeta militer yang terjadi sejak 1 februari lalu.

Terlepas dari semua itu kini rakyat myanmar dapat sedikit mengehla nafas mereka, kabarnya ASEAN akan segera melakukan KTT yang akan diselenggarakan sabtu ini di jakarta.  Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang beranggotakan 10 orang telah berusaha untukmenuntun Myanmar, salah satu anggotanya, keluar dari kekacauan berdarah yang dipicu oleh penggulingan militer atas pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu.

Tetapi prinsip-prinsip konsensus dan non-campur tangan telah membatasi kemampuan ASEAN untuk mengatasi pandangan anggotanya yang berbeda tentang bagaimana menanggapi pembunuhan ratusan warga sipil oleh tentara junta.

Rencananya beberapa wakik negara yang tergabung dengan ASEAN akan datang menghadiri KTT ini dengan diwakili menteri luar negeri mereka sabtu ini dijakrta. KTT ini diharappkan nanti akan menjadi titik terang bagi myanmar untuk kembali memdamaikan kondisi megara dan demokrasi mereka sehingga junta ini akan segera berakhir.

bottom of page